Jadi seperti yang sudah diulas di pertemuan sebelumnya, bahwa yang namanya tambahan atas utang itu tidak diperbolehkan di dalam Islam. bunga kredit itu pada saat ini dipahami merupakan tambahan atas hutang. Jadi kalau kita pergi ke bank, itu ibaratnya bank sedang meminjam uang kepada kita. Lalu selanjutnya kita diberikan bunga kredit: tambahan atas utang tersebut. Atau di sisi lain, kalau di sisi kredit, kita pergi ke bank untuk meminjam uang,

untuk sesuatu yang dwell misalnya kebutuhan konsumsi, atau investasi, Lalu nanti bank men-charge atau mengenakan bunga kredit juga kepada kita. Apakah hal ini diperbolehkan di dalam Islam? Jadi seperti yang sudah diulas di pertemuan sebelumnya bahwa yang namanya tambahan atas utang, itu tidak diperbolehkan di dalam Islam. Maka di dalam Islam itu seperti apa yang terjadi di perbankannya? Maka digunakanlah akad-akad yang bersifat komersial. Jadi di dalam Islam itu sebetulnya kalau kita bagi, ada 2 jenis akad.
Yang pertama itu adalah akad
yang boleh diambil keuntungan di dalamnya atau akad komersial. Dan yang kedua adalah akad yang sifatnya sosial, atau Tabarru ‘. Tadi kita sebut Tijari( yang boleh komersial ), Tabarru’ itu yang sifatnya sosial. Nah yang Tabarru’ ini misalnya seperti infaq, shodaqoh, hibah, dan utang masuk di dalamnya. Jadi untuk umat Muslim, yang namanya berhutang itu adalah bagian dari aktivitas sosial. Makanya tidak boleh dikenakan apapun di dalamnya. Dzalim hukumnya ketika orang sedang kesusahan, maka dikenakan lagi hal yang lebih memberatkan. Sementara untuk akad-akad komersial, itu kita dibebaskan untuk mengambil keuntungan selama suka sama suka.
Misalnya akad komersil itu adalah jual beli. Kalau kita mau jual beli dengan seseorang, maka sebetulnya, berapa keuntungan yang diinginkan, itu selama keduanya sepakat, tidak ada tekanan satu sama dwell, maka hukumnya sah. Atau yang lain dari itu misalnya sewa-menyewa. Selama sewa-menyewa itu dipenuhi akad-akadnya, misalnya: harus ada yang menyewa, harus ada yang memberi sewa, ada barangnya, ada harganya, begitu juga yang berlaku di jual beli tadi, maka hukumnya sah. Kita boleh menerapkan harga sewa sesuai kesepakatan masing-masing. Yang ketiga misalnya, berbagi hasil.
Jadi selama di depan kita sudah tentukan di awal, bahwa kita akan berbagi hasil apa yang akan kita kerjakan, lalu nanti ketika mendapat keuntungan, berapa yang harus dibagikan? Ketika ada yang rugi, apa yang harus dilakukan? Semua itu sudah disepakati dari awal, maka itu diperbolehkan. Nah, 3 jenis akad ini, sewa menyewa, bagi hasil, maupun jual beli, inilah yang biasanya digunakan di dalam pembiayaan di bank syariah. Jadi kalau kita mau beli rumah, atau mau pinjam uang untuk membeli rumah, kita bukan minjem uang untuk beli rumah, tapi si bank tersebut melakukan akad jual beli. Misalnya, bank akan membeli rumah lebih dulu, lalu menjualnya lagi kepada si kreditur( yang ingin membeli rumah ). Sehingga prinsipnya adalah jual beli, bukan utang-piutang.
Berapa cicilan yang ditetapkan, ini bisa disepakati antara si bank dan juga si pembeli rumah. Begitu juga dengan akad lainnya, misalnya untuk modal usaha, yang digunakan adalah akad investasi. Maka dari modal ini akan ditentukan nanti ketika untung, maka harus berbagi hasil berapa. Seperti itu adalah akad-akad yang ditetapkan dalam bank syariah. Tadi kita sudah bahas dari sisi pinjaman( kredit ). Sekarang kita akan membahas dari sisi pengumpulan uang, atau deposito. Jadi di dalam bank Islam, pada saat mengumpulkan uang dari dana pihak ketiga, itu ada beberapa mekanisme yang dilakukan. Ada beberapa akad yang ditawarkan. Misalnya, untuk tabunga kreditn itu biasanya digunakan akad wadiah atau titipan. Jadi sistemnya bahwa seseorang datang lalu menitipkan uangnya di bank, sehingga dia boleh mengambil kapanpun yang dia inginkan.
Lalu apakah orang yang menitipkan tadi mendapatkan keuntungan? Itu diserahkan kepada kebijakan orang yang dititipkan, dalam hal ini perbankan. Jadi, dalam akad wadiah apakah dia mendapat keuntungan atau tidak itu tergantung si bank, dia bisa memberikan hibah/ tambahan/ hadiah atau tidak. Kadang-kadang bank memang memberikan hadiah tertentu, tapi tentunya yang namanya hadiah itu tidak bisa diperjanjikan di awal, dan jumlahnya tidak bisa ditetapkan di awal. Tergantung keinginan dari si bank. Itu untuk wadiah( titipan ). Untuk deposito akad yang dipakai itu berbeda. Untuk deposito itu agak lebih rumit, yang digunakan adalah akad bagi hasil. Jadi prinsipnya adalah, si deposan ini disebut dengan Rabbul Mal.
Rabbul Mal artinya orang yang memiliki dana. Sementara si bank ini disebut dengan Mudharib. Mudharib adalah pengusaha yang akan mengelola dana tersebut. Jadi di dalam deposito, si deposan memiliki dana, dia datang ke bank, lalu dia serahkan uangnya ke bank untuk dikelola oleh bank. Nah, dikelola oleh bank ini seperti apa? Karena bank ini sifatnya sebagai intermediary, untuk menyalurka dana, maka bentuk pengelolaannya adalah dana itu disalurkan kembali kepada kreditur. Dan digunakan untuk hal-hal yang diinginkan oleh kreditur tersebut. Jadi setelah kreditur ini, dalam hal ini di sisi sebelah kanan, di sisi asetnya, kreditur meminjam uang bank, jadi sebetulnya uang bank tadi adalah uang si deposan tadi. Nah itu dikelola oleh si kreditur dan kreditur akan memberikan imbal hasil ketika mendapat keuntungan. Diberikan imbal hasil, dan imbal hasil inilah merupakan dana kelolaan yang dimiliki bank, dan akan diberikan imbal hasil lagi atau di-share keuntungannya kepada si deposan.
Apakah rumit? Jadi di sini ada 2x mudharabah. Atau ada 2x akad investasi. Yang pertama itu dari deposan kepada bank, yang kedua adalah dari bank kepada kreditur. Jadi bank akan memperoleh untung atau bagi hasil dari transaksi yang dilakukan oleh kreditur, lalu nanti si bank dalam hal ini akan membagi keuntungannya juga dengan depositor sebagai pemilik dana. Kurang lebih seperti itu. Di Indonesia jumlah umat Muslimnya itu adalah mayoritas, bahkan yang terbesar di dunia. Tetapi untuk pemahaman, memang masih sangat kurang …